Selasa, 05 Januari 2010

Menurut saya pers sekarang ini

Saya melihat di zaman globalisasi sekarang ini kebebasan pers sangat berlebihan bahkan sudah sangat jauh dari peraturan yang ada, dimana baik peraturan yang tidak tertulis bahkan yang tertulis sekalipun tidak dianggap sebagai peraturan yang ada hukumnya. Karena sebagian banyak orang berpendapat bahwa " hukum dilahirkan untuk dilanggar". Tidak hanya hukum jurnalistik ataupun penyiaran tetapi masih banyak aturan-aturan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya yang diharapkan bangsa. Bisa dilihat sekarang ini hukum dapat dibeli dengan uang, jadi siapa yang kaya dia yang akan menang dan yang miskin hanya bisa gigit jari saja menghadapi nasibnya.
prinsip hukum yaitu dimata hukum semua orang adalah sama akan tetapi masih banyak kasus-kasus yang dimenangkan oleh orang yang berduit saja, bahkan untuk melapor ke polisi saja harus membayar uang dengan jumlah yang banyak agar kasusu tersebut dapat ditangani dengan cepat dan bukan hanya itu untuk menyampaikan kasus ke pengadilan,pendaftaran, harus pakai pengacara lah sampai pemutusan perkara juga harus butuh uang yang tidak sedikit. Jadi akan bagaimana nasib-nasib orang miskin...
ada banyak media atau pers yang sebenarnya melanggar peraturan misalnya program yang harusnya ditonton anak kecil ada unsur kekerasan dan pornografi selain itu ada beberapa iklan yang tidak harus ditayangkan pada jam-jam tertentu. Semuanya itu sebenarnya telah diatur dalam undang-undang p3sps ( Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran)
Sama halnya dengan para jurnalis yang terlalu melebih-lebihkan berita yang tidak benar adanya ataupun menggangu privasi orang tersebut, hal itu idealisnya terdapat dalam undang-undang pasal kode etik jurnalistik tapi melihat lagi prakteknya sangat berbeda dan mungkin tidak sesuai dengan keadaan.
Di Indonesia sangat banyak pertauran yang tidak di teladani dengan prakteknya baik dari bidang politik, ekonomi, budaya dan sebagainya termasuk industri hiburan dan media itu sendiri.
Indonesia sebenarnya adalah negara yang kaya dengan jumlah penduduk, sumber daya alam nya yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa tapi sayangnya banyak orang yang tidak menyadari hal itu bahkan sesama warga indonesia bersaing untuk menguasai kekayaan alam kita untuk kepentingan pribadinya saja.

kode etik jurnalistik

Pasal-Pasal Kode Etik Jurnalistik

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran :

1. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

2. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

3. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

4. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2

Wartawan indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran :

Cara-cara yang profesional adalah :

menunjukkan identitas diri kepada narasumber

5. menghormati hak privasi;

6. tidak menyuap;

7. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

8. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara

dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

9. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto,

suara;

10. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain

sebagai karya sendiri;

11. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita

investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran

12. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran

informasi itu.

13. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada

masing-masing pihak secara proporsional.

14. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda

dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas

fakta.

15. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran

16. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai

hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

17. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat

buruk.

18. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

19. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar,

suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

20. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu

pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran

21. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang

memudahkan orang lain untuk melacak.

22. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran

23. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan

pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut

menjadi pengetahuan umum.

24. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak

lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran

25. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan

narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

26. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan

permintaan narasumber.

27. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang

disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

28. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak

boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran

29. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum

mengetahui secara jelas.

30. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran

31. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

32. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain

yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran

33. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun

tidak ada teguran dari pihak luar.

34. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran

35. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan

tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan

nama baiknya.

36. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi

yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

37. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.


PERATURAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA

NOMOR 03 TAHUN 2007

TENTANG

STANDAR PROGRAM SIARAN

Menimbang:

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia harus melindungi hak warga negaranya untuk mendapatkan informasi yang tepat, akurat, dan bertanggungjawab serta hiburan yang sehat;

b. bahwa kehadiran stasiun-stasiun televisi dan radio baru di seluruh Indonesia membuat tingkat persaingan lembaga penyiaran untuk meraih khalayaknya semakin tinggi, sehingga program acara menjadi tolok ukur keberhasilan meraih keuntungan;

c. bahwa tingkat persaingan antar lembaga penyiaran berpotensi untuk memunculkan kreatif program acara yang tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut dan diyakini oleh masyarakat;

d. bahwa program siaran harus mampu memperkokoh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera;

e. bahwa oleh karena itu, Komisi Penyiaran Indonesia memandang perlu untuk menetapkan Standar Program Siaran.

Mengingat:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473);

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881);

5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 3886);

6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3887);

7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252);

9. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389)

10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437).

11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun 2007 tentang Penetapan pengangkatan Keanggotaan Komisi Penyiaran untuk Masa Jabatan Tahun 2007 – 2010.

12. Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 001/SK/KPI/4/2007 tentang Penetapan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat untuk Masa Jabatan 2007 – 2010.

13. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran.

Memperhatikan:

a. Usulan dan masukan dari asosiasi dan masyarakat penyiaran;

b. Usulan dan masukan dari berbagai kelompok masyarakat dari berbagai daerah.

c. Rekomendasi Rapat Koordinasi Nasional ke-5 Komisi Penyiaran Indonesia di Bali pada tanggal 30 Juli 2007.

M E M U T U S K A N

Menetapkan: PERATURAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA TENTANG STANDAR PROGRAM SIARAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

1. Standar Program Siaran adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia bagi Lembaga Penyiaran untuk menghasilkan program siaran yang berkualitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Standar Program Siaran merupakan panduan tentang batasan-batasan apa yang boleh dan tidak boleh dalam penayangan program siaran.

3. Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran;

4. Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spectrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran;

5. Penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur dan berkesinambungan;

6. Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan;

7. Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

8. Yang dimaksud dengan program faktual adalah program siaran yang menyajikan fakta non-fiksi, diproduksi dengan berpegang pada prinsip jurnalistik, terutama apabila materi yang disiarkan berkaitan dengan kebijakan publik.

9. Yang termasuk dalam program faktual adalah program berita, features, dokumentasi, program realita (reality show), konsultasi on-air, diskusi, talkshow, jajak pendapat, pidato, ceramah, editorial, kuis, perlombaan, pertandingan olahraga, dan program-program sejenis lainnya yang bersifat nyata, terjadi tanpa rekayasa.

10. Yang dimaksud dengan program non-faktual adalah program siaran yang berisi ekspresi, pengalaman situasi dan/atau kondisi individual dan/atau kelompok yang bersifat rekayasa atau imajinatif dan bersifat menghibur.

11. Yang termasuk di dalam program non faktual adalah drama yang dikemas dalam bentuk sinetron atau film, program musik, seni, dan/ atau program-program sejenis lainnya yang bersifat rekayasa dan bertujuan menghibur.

12. Program asing adalah program utuh yang diimpor dari luar negeri.

13. Yang dimaksud dengan program yang mengandung muatan kekerasan adalah program yang dalam penyajiannya memunculkan efek suara berupa hujatan, kemarahan yang berlebihan, pertengkaran dengan suara seolah orang membanting atau memukul sesuatu, dan/ atau visualisasi gambar yang nyata-nyata menampilkan tindakan seperti pemukulan, pengrusakan secara eksplisit dan vulgar.

14. Komisi Penyiaran Indonesia adalah selanjutnya disebut KPI adalah Lembaga Negara Independen, mengatur hal-hal mengenai penyiaran yang tugas, fungsi dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

15. KPI Pusat berkedudukan di ibukota Negara dan KPI Daerah berkedudukan di ibukota propinsi.

16. KPI Pusat dan KPI Daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya, berwenang untuk mengawasi lembaga penyiaran dalam pelaksanaan Pedoman Perilaku Penyiaran.

BAB II

DASAR, TUJUAN, FUNGSI, ARAH

Pasal 2

Standar Program dan Isi Siaran ditetapkan berdasarkan pada nilai-nilai agama, norma-norma yang berlaku dan diterima dalam masyarakat, kode etik, standar profesi dan pedoman perilaku yang dikembangkan masyarakat penyiaran, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3

Standar Program Siaran ditetapkan untuk:

1. memperkokoh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera;

2. mengatur program-program isi siaran dari lembaga penyiaran, sehingga pemanfaatannya harus senantiasa ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat sebesar-besarnya;

3. mengatur program dan isi siaran yang dibuat oleh lembaga penyiaran agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Pasal 4

Standar Program Siaran ditetapkan agar lembaga penyiaran dapat menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol, dan perekat sosial, dan pemersatu bangsa.

Pasal 5

Standar Program Siaran diarahkan agar:

a. Lembaga penyiaran taat dan patuh hukum terhadap segenap peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia;

b. Lembaga penyiaran menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. Lembaga penyiaran menjunjung tinggi norma dan nilai agama dan budaya bangsa yang multikultural;

d. Lembaga penyiaran menjunjung tinggi Hak-hak Asasi Manusia;

e. Lembaga penyiaran menjunjung tinggi prinsip jurnalistik;

f. Lembaga penyiaran melindungi kehidupan anak-anak, remaja, dan kaum perempuan;

g. Lembaga penyiaran melindungi kaum marginal;

h. Lembaga penyiaran melindungi publik dari pembodohan dan kejahatan; dan

i. Lembaga penyiaran menumbuhkan demokratisasi.

BAB III

ISI

Pasal 6

Standar Program Siaran menentukan bahwa standar isi siaran yang berkaitan dengan:

a. penghormatan terhadap nilai-nilai Agama;

b. norma kesopanan dan kesusilaan;

c. perlindungan anak-anak, remaja, dan perempuan;

d. pelarangan dan pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme;

e. penggolongan program menurut usia khalayak

f. rasa hormat terhadap hak pribadi;

g. penyiaran program dalam bahasa asing;

h. ketepatan dan kenetralan program berita;

i. siaran langsung; dan

j. siaran iklan.

BAB IV

PENGHORMATAN PADA SUKU, AGAMA, RAS DAN ANTARGOLONGAN

Pasal 7

Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program dan isi siaran yang merendahkan suku, agama, ras dan antargolongan.

Bagian Pertama

Agama

Pasal 8

Materi agama dapat tampil pada program acara agama, non-agama, dan drama/fiksi dengan ketentuan sebagai berikut:

a. lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program yang mengandung serangan, penghinaan atau pelecehan terhadap pandangan dan keyakinan keagamaan tertentu;

b. siaran agama harus menghargai etika hubungan antar agama;

c. kontroversi mengenai pandangan/paham dalam agama tertentu harus disajikan secara berimbang oleh lembaga penyiaran;

d. lembaga penyiaran tidak menyajikan program berisi penyebaran ajaran dari suatu sekte, kelompok atau praktek agama tertentu yang dinyatakan secara resmi oleh pihak berwenang sebagai kelompok yang dilarang;

e. lembaga penyiaran tidak menyajikan program berisikan perbandingan antar agama;

f. lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan informasi tentang perpindahan agama seseorang atau sekelompok orang secara rinci dan berlebihan, terutama menyangkut alasan perpindahan agama.

Bagian Kedua

Tayangan Supranatural dalam Program Faktual

Pasal 9

1. Program dan promo program faktual yang bertemakan dunia gaib, paranormal, klenik, praktek spiritual magis, mistik, kontak dengan roh, hanya dapat disiarkan pukul 22.00– 03.00 sesuai dengan waktu stasiun yang menayangkan.

2. Program dan promo program faktual yang menyajikan pengobatan alternatif (non medis) dengan menggunakan kekuatan supranatural hanya dapat disiarkan pukul 22.00-03.00 sesuai dengan waktu stasiun yang menayangkan.

3. Dalam program faktual, tidak boleh ada upaya manipulasi dengan menggunakan efek gambar ataupun suara untuk tujuan mendramatisasi isi siaran sehingga bisa menimbulkan interpretasi yang salah misalnya manipulasi audio visual tambahan seakan ada makhluk halus tertangkap kamera.

4. Dalam menyiarkan program faktual yang menggunakan narasumber yang mengaku memiliki kekuatan/kemampuan supranatural khusus atau kemampuan menyembuhkan penyakit dengan cara supranatural, lembaga penyiaran harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. bila tidak ada ada landasan fakta dan bukti empirik, lembaga penyiaran menjelaskan hal tersebut kepada khalayak;

b. lembaga penyiaran harus menjelaskan kepada khalayak bahwa mengenai kekuatan/kemampuan tersebut sebenarnya ada perbedaan pandangan di tengah masyarakat.

Pasal 10

1. Lembaga penyiaran dapat menyajikan program fiksi (seperti drama, film, sinetron, komedi, dan kartun) yang menyajikan kekuatan atau makhluk supranatural selama dunia supranatural itu disajikan sebagai fantasi.

2. Program dan promo program sebagaimana dimaksud Ayat (1) yang bersifat mengerikan dan dapat menimbulkan rasa takut hanya dapat disiarkan pukul 22.00–03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan.

BAB V

KESOPANAN DAN KESUSILAAN

Pasal 11

1. Lembaga penyiaran harus memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaaan yang dijunjung oleh keberagaman khalayak baik dalam agama, suku, budaya, usia, dan latar belakang ekonomi

2. Lembaga penyiaran harus berhati-hati agar program isi siaran yang disiarkan tidak merugikan dan menimbulkan efek negatif terhadap norma kesopanan dan kesusilaan yang dianut oleh keberagaman khalayak tersebut

Bagian Pertama

Pelecehan Kelompok Masyarakat Tertentu

Pasal 12

1. Lembaga penyiaran dilarang memuat program yang melecehkan kelompok masyarakat tertentu yang selama ini sering diperlakukan negatif, seperti:

a. kelompok-kelompok pekerja tertentu misalnya: pekerja rumah tangga, hansip, dan satpam;

b. kelompok masyarakat yang kerap dianggap memiliki penyimpangan, seperti: waria, banci, laki-laki yang keperempuanan, perempuan yang kelaki-lakian, dan sebagainya;

c. kelompok lanjut usia dan janda/duda;

d. kelompok dengan ukuran dan bentuk fisik di luar normal, seperti: gemuk, cebol, bergigi tonggos, bermata juling, dan sebagainya;

e. kelompok yang memiliki cacat fisik, seperti: tuna netra, tuna rungu, tuna wicara;

f. kelompok yang memiliki cacat atau keterbelakangan mental, seperti: embisil, idiot, dan sebagainya;

g. kelompok pengidap penyakit tertentu, seperti penderita HIV/AIDS, kusta, epilepsi, dan sebagainya.

2. Dalam kaitan dengan ketentuan ayat (1) di atas, lembaga penyiaran harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. dilarang menyiarkan program yang mengandung muatan yang dapat membangun atau memperkokoh stereotip negatif mengenai kelompok-kelompok tersebut;

b. dilarang menyiarkan program yang menjadikan kelompok-kelompok tersebut sebagai bahan olok-olok atau tertawaan;

c. dilarang menyajikan program yang di dalamnya memuat sebutan-sebutan yang sifatnya merendahkan atau berkonotasi negatif terhadap kelompok-kelompok tersebut.

3. Bila memang dalam program tersebut terdapat muatan stereotipe negatif mengenai kelompok-kelompok tersebut, hal itu harus selalu digambarkan dalam konteks tindakan yang salah dan tidak dapat dibenarkan.

Bagian Kedua

Kata-kata Kasar dan Makian

Pasal 13

1. Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan penggunaan bahasa atau kata-kata makian yang mempunyai kecenderungan menghina/merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, serta menghina agama dan Tuhan.

2. Kata-kata kasar dan makian yang dilarang disiarkan mencakup kata-kata dalam bahasa indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah, baik diungkapkan secara verbal maupun nonverbal.

Bagian Ketiga

Penggambaran Sekolah

Pasal 14

Lembaga penyiaran yang menyajikan program dengan lokasi dan/ atau suasana sekolah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. dibuat sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat;

b. tidak mengandung muatan yang melecehkan sekolah sebagai lembaga pendidikan;

c. tidak menjatuhkan citra guru sebagai pendidik dengan penggambaran yang buruk;

d. tidak menampilkan cara berpakaian siswa dan guru yang menonjolkan sensualitas.

Bagian Keempat

Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif [NAPZA]

Pasal 15

Lembaga penyiaran dapat menyajikan program yang memuat pemberitaan, pembahasan, atau penggambaran penggunaan napza dengan ketentuan sebagai berikut:

a. lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan program yang menimbulkan kesan bahwa penggunaan napza dibenarkan;

b. lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan cara penggunaan napza dengan eksplisit dan rinci.

Bagian Kelima

Alkohol dan Rokok

Pasal 16

Lembaga penyiaran dapat menyajikan program yang memuat pemberitaan, pembahasan, atau penggambaran penggunaan alkohol dan rokok dengan ketentuan sebagai berikut:

a. dilarang menyiarkan program yang menggambarkan penggunaan alkohol dan rokok sebagai hal yang dapat diterima secara luas oleh masyarakat;

b. dilarang menyiarkan program yang mengandung muatan yang mendorong anak-anak atau remaja untuk menggunakan alkohol dan rokok;

c. dilarang menyajikan program yang mengandung adegan penggunaan alkohol dan rokok secara dominan dan vulgar.

BAB VI

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK-ANAK, REMAJA DAN PEREMPUAN

Pasal 17

Lembaga penyiaran dalam memproduksi dan menyiarkan berbagai program dan isi siaran wajib memperhatikan, memberdayakan dan melindungi kepentingan anak-anak, remaja dan perempuan.

BAB VII

PELARANGAN DAN PEMBATASAN PROGRAM SIARAN SEKS

Bagian Pertama

Umum

Pasal 18

1. Lembaga penyiaran televisi dilarang menampilkan adegan yang secara jelas didasarkan atas hasrat seksual.

2. Lembaga penyiaran televisi dibatasi menyajikan adegan dalam konteks kasih saying dalam keluarga dan persahabatan, termasuk di dalamnya: mencium rambut, mencium pipi, mencium kening/dahi, mencium tangan, dan sungkem.

Pasal 19

1. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan adegan yang menggambarkan aktivitas hubungan seks, atau diasosiasikan dengan aktivitas hubungan seks atau adegan yang mengesankan berlangsungnya kegiatan hubungan seks, secara eksplisit dan vulgar.

2. Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan suara-suara atau bunyi-bunyian yang mengesankan berlangsungnya kegiatan hubungan seks.

3. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan percakapan, adegan, atau animasi yang menggambarkan rangkaian aktivitas ke arah hubungan seks.

4. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan adegan yang menggambarkan hubungan seks antarhewan secara vulgar atau antara manusia dan hewan.

5. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang memuat pembenaran bagi berlangsungnya hubungan seks di luar nikah.

Bagian Kedua

Pemberitaan Perkosaan

Pasal 20

1. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan adegan pemerkosaan atau pemaksaan seksual, atau adegan yang menggambarkan upaya ke arah pemerkosaan dan pemaksaan seksual secara eksplisit dan vulgar.

2. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang isinya memuat pembenaran bagi terjadinya perkosaan atau yang menggambarkan perkosaan sebagai bukan kejahatan serius.

Bagian Ketiga

Muatan Seks dalam Lagu dan Klip Video

Pasal 21

1. Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan lagu dan klip video berisikan lirik bermuatan seks, baik secara eksplisit maupun implisit.

2. Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan adegan tarian dan atau lirik yang dapat dikategorikan sensual, menonjolkan seks, membangkitkan hasrat seksual atau member kesan hubungan seks.

3. Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program, adegan dan atau lirik yang dapat dipandang merendahkan perempuan menjadi obyek seks.

4. Lembaga penyiaran dilarang menampilkan tayangan yang menjadikan anak-anak dan remaja sebagai obyek seks, termasuk di dalamnya adalah adegan yang menampilkan anak-anak dan remaja berpakaian minim, bergaya dengan menonjolkan bagian tubuh tertentu atau melakukan gerakan yang lazim diasosiasikan dengan daya tarik seksual.

Bagian Keempat

Pemberitaan Masturbasi

Pasal 22

Lembaga penyiaran dilarang menyajikan adegan berlangsungnya masturbasi dan atau materi siaran (misalnya suara) yang mengesankan berlangsungnya masturbasi.

Bagian Kelima

Pemberitaan Dialog Seks

Pasal 23

1. Program yang berisikan pembicaraan atau pembahasan mengenai masalah seks harus disajikan secara santun, hati-hati, dan ilmiah.

2. Program pendidikan seks untuk remaja yang bertujuan membantu remaja memahami kesehatan reproduksi harus dilakukan dengan cara yang serasi dengan perkembangan remaja.

3. Pembawa acara bertanggungjawab menjaga agar acara itu tidak menjadi ajang pembicaraan mesum.

4. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program siaran di mana penyiar atau pembicara tamu atau penelepon berbicara tentang pengalaman seks secara eksplisit dan rinci.

Bagian Keenam

Pemberitaan Perilaku Seks Yang Menyimpang

Pasal 24

1. Lembaga penyiaran dapat menyiarkan program yang membahas atau bertemakan berbagai perilaku seksual menyimpang dalam masyarakat, seperti:

a. hubungan seks antara orang dewasa dan anak-anak/remaja;

b. hubungan seks sesama anak-anak atau remaja di bawah umur;

c. hubungan seks sedarah;

d. hubungan seks manusia dengan hewan;

e. hubungan seks yang menggunakan kekerasan;

f. hubungan seks berkelompok;

g. hubungan seks dengan alat-alat.

2. Dalam menyajikan program berisikan materi tentang perilaku seks menyimpang tersebut, lembaga penyiaran harus memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan program yang mengandung

b. pembenaran terhadap perilaku seksual menyimpang tersebut.

c. kecuali program berita, program yang mengandung muatan cerita atau

d. pembahasan tentang perilaku seksual menyimpang hanya dapat disiarkan pukul

e. 22.00-03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan.

Bagian Ketujuh

Pemberitaan Pekerja Seks Komersial

Pasal 25

Lembaga penyiaran dapat menyiarkan program yang memberitakan, membahas, atau mengandung muatan cerita tentang pekerja seks komersial dengan ketentuan sebagai berikut:

a. program tersebut tidak boleh mempromosikan dan mendorong agar pelacuran dapat diterima secara luas oleh masyarakat;

b. dalam program faktual, wajah, dan identitas pekerja seks komersial harus disamarkan;

c. kecuali program berita, program yang membahas atau mengandung muatan cerita tentang pekerja seks komersial hanya boleh disiarkan pukul 22.00–03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan.

Bagian Kedelapan

Pemberitaan Homoseksualitas dan Lesbian

Pasal 26

Lembaga penyiaran dapat menyiarkan program yang memberitakan, membahas, atau mengandung muatan cerita tentang homoseksualitas dan lesbian, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. program tersebut tidak boleh mempromosikan dan menggambarkan bahwa homoseksualitas dan lesbian adalah suatu kelaziman;

b. kecuali program berita, program yang membahas atau mengandung muatan cerita tentang homoseksualitas dan lesbian hanya boleh ditayangkan pukul 22.00–03.00 sesuai dengan waktu stasiun siaran yang menayangkan.

Bagian Kesembilan

Pemberitaan Manusia Telanjang

Pasal 27

1. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyiarkan gambar manusia telanjang atau mengesankan telanjang, baik bergerak atau diam.

2. Tampilan/gambar manusia telanjang atau berkesan telanjang yang hadir dalam konteks budaya tertentu atau dibutuhkan dalam konteks berita tertentu, harus disamarkan.

3. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan tayangan yang mengeksploitasi (misalnya dengan pengambilan gambar close up) bagian-bagian tubuh yang lazim dianggap membangkitkan birahi, seperti paha, pantat, payudara, dan alat kelamin pria mau pun wanita.

BAB VIII

PELARANGAN DAN PEMBATASAN PROGRAM SIARAN KEKERASAN DAN

KEJAHATAN

Bagian Pertama

Pemberitaan Kekerasan

Pasal 28

1. Program dikatakan mengandung muatan kekerasan secara dominan apabila sepanjang tayangan sejak awal sampai akhir, unsur kekerasan muncul mendominasi program dibandingkan unsur-unsur yang lain, antara lain yang menampilkan secara terus menerus sepanjang acara adegan tembak-menembak, perkelahian dengan menggunakan senjata tajam, darah, korban dalam kondisi mengenaskan, penganiayaan, pemukulan, baik untuk tujuan hiburan maupun kepentingan pemberitaan (informasi).

2. Program atau promo program yang mengandung muatan kekerasan secara dominan, atau mengandung adegan kekerasan eksplisit dan vulgar, hanya dapat disiarkan pada pukul 22.00–03.00 sesuai dengan waktu stasiun televisi penyiaran yang menayangkan.

3. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program dan promo program yang mengandung adegan di luar perikemanusiaan atau sadistis.

4. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang dapat dipersepsikan sebagai mengagung-agungkan kekerasan atau menjustifikasi kekerasan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari.

5. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan lagu-lagu atau klip video musik yang mengandung muatan pesan menggelorakan atau mendorong kekerasan.


Pasal 29

Dalam program anak-anak, kekerasan tidak boleh tampil secara berlebihan dan tidak boleh tercipta kesan bahwa kekerasan adalah hal lazim dilakukan dan tidak memiliki akibat serius bagi pelaku dan korbannya.

Pasal 30

Lembaga penyiaran harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk memperlihatkan realitas dengan pertimbangan akan efek negatif yang ditimbulkan. Karena itu, penyiaran adegan kekerasan dan kecelakaan harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. adegan kekerasan tidak boleh disajikan secara eksplisit, berlebihan, dan vulgar;

b. gambar luka-luka yang diderita korban kekerasan dan kecelakaan tidak boleh disorot dari dekat (close up, medium close up, extreme close up);

c. gambar penggunaan senjata tajam dan senjata api tidak boleh disorot dari dekat (close up, medium close up, extreme close up);

d. gambar korban kekerasan tingkat berat, serta potongan organ tubuh korban dan genangan darah yang diakibatkan tindak kekerasan, kecelakaan dan bencana, harus disamarkan;

e. durasi dan frekuensi penyorotan korban yang eksplisit harus dibatasi;

f. dalam siaran radio, penggambaran kondisi korban kekerasan dan kecelakaan tidak boleh disiarkan secara rinci;

g. saat-saat menjelang kematian tidak boleh disiarkan;

h. adegan eksekusi hukuman mati tidak boleh disiarkan;

i. demi memberi informasi yang lengkap pada publik, lembaga penyiaran dapat menyajikan rekaman aksi kekerasan perorangan maupun kolektif secara eksplisit. Namun rekaman tersebut tidak dapat disiarkan diluar pukul 22.00 - 03.00 dan tidak boleh menimbulkan rasa ngeri dan trauma bagi khalayak.

Pasal 31

Lembaga penyiaran dilarang menyajikan isi siaran yang memberikan gambaran eksplisit dan rinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.

Pasal 32

Program siaran yang berisikan tayangan permainan atau pertandingan yang didominasi kekerasan hanya dapat disiarkan pukul 22.00-03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan.

Bagian Kedua

Pemberitaan Kejahatan

Pasal 33

1. Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan rekaman secara penuh hasil interogasi polisi terhadap tersangka tindak kejahatan;

2. Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan materi siaran tentang kekerasan dan kriminalitas yang dalam proses produksinya diketahui mengandung muatan rekayasa yang mencemarkan nama baik dan membahayakan objek pemberitaan;

3. Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan adegan rekonstruksi kejahatan pembunuhan secara rinci;

4. Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan adegan rekonstruksi kejahatan seksual dan pemerkosaan secara rinci, baik dengan korban dan pelaku anak-anak mau pun dewasa;

5. Lembaga penyiaran tidak boleh menayangkan langsung gambar wajah korban pemerkosaan kepada publik;

6. Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan siaran rekonstruksi yang memperlihatkan secara rinci modus dan cara-cara pembuatan alat kejahatan.

Pasal 34

1. Penyiaran adegan rekonstruksi kejahatan yang memperlihatkan cara pembuatan alatalat kejahatan atau langkah-langkah operasional aksi kejahatan tidak boleh disiarkan.

2. Penyiaran adegan rekonstruksi kejahatan seksual dan pemerkosaan tidak boleh disiarkan secara rinci, dan wajah dan nama pelaku dan/ atau korban harus disamarkan.

Pasal 35

1. Ketika lembaga penyiaran menyajikan berita atau dokumentari yang didasarkan pada rekonstruksi dari peristiwa yang sesungguhnya terjadi, materi tayangan tersebut harus secara tegas dinyatakan sebagai hasil visualisasi atau rekonstruksi.

2. Dalam menyajikan berita atau dokumentari sebagaimana ayat (7) di atas, rekonstruksi tersebut harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. lembaga penyiaran televisi wajib menyertakan penjelasan bahwa apa yang disajikan tersebut adalah hasil rekonstruksi, dengan memberikan supercaption/superimpose ‘rekonstruksi' di pojok gambar televisi atau dengan pernyataan verbal di awal siaran.

b. dalam rekonstruksi, tidak boleh ada perubahan atau penyimpangan terhadap fakta atau informasi yang dapat merugikan pihak yang terlibat.

c. lembaga penyiaran televisi harus memberitahukan dengan jelas asal versi rekonstruksi peristiwa atau ilustrasi tersebut.

Pasal 36

Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program yang mendorong atau mengajarkan tindakan kekerasan atau penyiksaan terhadap binatang.

Pasal 37

1. Penggambaran secara eksplisit dan rinci adegan dan rekonstruksi bunuh diri dilarang.

2. Wajah pelaku atas tindakan bunuh diri dilarang disiarkan.

3. Lembaga penyiaran harus menghindari tayangan program yang di dalamnya terkandung pesan bahwa bunuh diri adalah sebuah jalan keluar yang dibenarkan untuk mengakhiri hidup.

BAB IX

BAHASA SIARAN

Pasal 38

1. Lembaga penyiaran dalam menyajikan informasi wajib menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik tertulis atau lisan kecuali bagi program siaran atau berita yang disajikan dalam bahasa daerah atau asing.

2. Lembaga Penyiaran yang menggunakan bahasa asing dalam pemberitaan, hanya boleh menyiarkan sebanyak 30 % dari total siaran acara.

3. Lembaga Penyiaran Berlangganan yang menyiarkan program-program asing melalui saluran-saluran asing yang ada dalam paket siaran, harus membuat terjemahan ke dalam bahasa Indonesia baik dalam bentuk sulih suara atau berupa teks.

BAB X

PRINSIP JURNALISTIK

Pasal 39

1. Lembaga penyiaran dalam menyajikan informasi program faktual wajib mengindahkan prinsip jurnalistik, yaitu akurat, adil, berimbang, ketidakberpihakan, tidak beritikad buruk, tidak mencampuradukan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur kekerasan, tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan, tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul.

2. Lembaga penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik wajib tunduk kepada peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Jurnalistik dan yang berlaku.

Bagian Pertama

Akurat

Pasal 40

1. Dalam program faktual, lembaga penyiaran harus menjunjung tinggi asas-asas jurnalistik dalam penyampaian informasi yang benar, bertanggungjawab dan akurat.

2. Saat siaran langsung, lembaga penyiaran harus waspada terhadap terlontarnya pernyataan dari narasumber yang keakuratan dan kebenarannya belum bisa dipertanggungjawabkan.

3. Apabila ada pernyataan seperti tersebut dalam ayat (2), maka pembawa acara harus melakukan verifikasi atau meminta penjelasan kepada narasumber tersebut.

4. Lembaga penyiaran wajib segera menyiarkan ralat apabila mengetahui telah menyajikan informasi yang tidak akurat.

5. Dalam menyajikan informasi yang sulit untuk dicek keakuratan dan kebenarannya secara empirik, seperti informasi kekuatan gaib, lembaga penyiaran televisi harus menyertakan penjelasan bahwa terdapat perbedaan pandangan dalam masyarakat mengenai kebenaran informasi tersebut.

Bagian Kedua

Adil

Pasal 41

1. Lembaga penyiaran harus menghindari penyajian informasi yang tidak lengkap, tidak berimbang, dan tidak adil.

2. Penggunaan footage/potongan gambar dan atau potongan suara dalam sebuah acara yang sebenarnya berasal dari program lain harus ditempatkan dalam konteks yang tepat dan adil serta tidak merugikan pihak-pihak yang menjadi subyek pemberitaan.

3. Bila sebuah program memuat potongan gambar dan atau potongan suara yang berasal dari acara lain, lembaga penyiaran wajib menjelaskan waktu pengambilan potongan gambar dan atau potongan suara tersebut.

4. Dalam pemberitaan kasus kriminalitas dan hukum, setiap saksi harus diberitakan sebagai saksi, tersangka harus diberitakan sebagai tersangka, terdakwa sebagai terdakwa, dan terpidana sebagai terpidana.

5. Dalam pemberitaan kasus kriminalitas dan hukum, lembaga penyiaran harus menyamarkan identitas (termasuk menyamarkan wajah) tersangka, kecuali identitas tersangka memang sudah terpublikasi dan dikenal secara luas.

6. Dalam pemberitaan kasus kriminal yang terkait dengan pemerkosaan, lembaga penyiaran harus menyamarkan identitas korban atau keluarga korban.

7. Jika sebuah program acara memuat informasi yang mengandung kritik yang menyerang atau merusak citra seseorang atau sekelompok orang, pihak lembaga penyiaran wajib menyediakan kesempatan dalam waktu yang pantas dan setara bagi pihak yang dikritik untuk memberikan hak jawab atau argumen balik terhadap kritikan yang diarahkan kepadanya.

Bagian Ketiga

Netral dan Berimbang

Pasal 42

1. Pada saat menyajikan isu-isu kontroversial yang menyangkut kepentingan publik, lembaga penyiaran harus menyajikan berita, fakta, dan opini secara netral dan berimbang.

2. Dalam program acara yang mendiskusikan isu kontroversial atau isu yang melibatkan dua atau lebih pihak yang saling berbeda pendapat, moderator, pemandu acara, dan atau pewawancara:

a. harus memberikan kesempatan kepada semua partisipan dan narasumber untuk dapat secara baik dan proporsional mengekspresikan pandangannya;

b. tidak boleh memiliki kepentingan pribadi atau keterkaitan dengan salah satu pihak/pandangan.

Bagian Keempat

Kemandirian

Pasal 43

Pimpinan redaksi harus memiliki independensi untuk menyajikan berita dengan obyektif, tanpa memperoleh tekanan dari pihak pimpinan, pemodal, atau pemilik lembaga penyiaran.

BAB XI

NARASUMBER

Bagian Pertama

Informasi yang Perlu Diketahui Narasumber

Pasal 44

1. Jika narasumber diundang dalam sebuah program faktual, wawancara di studio, wawancara melalui telepon, terlibat dalam program diskusi (talkshow), lembaga penyiaran wajib:

a. memberitahukan tujuan program, topik, dan para pihak yang terlibat dalam acara tersebut serta peran dan kontribusi narasumber;

b. menjelaskan kepada narasumber apakah program akan disiarkan secara langsung (live) atau rekaman (recorded). Jika merupakan program rekaman harus menjelaskan apakah hasil rekaman akan diedit, serta kepastian dan jadwal penayangan program agar kehadiran narasumber benar-benar menunjukkan manfaat.

2. Lembaga penyiaran wajib menghormati setiap narasumber, termasuk hak untuk tidak menjawab pertanyaan;

3. Lembaga penyiaran dilarang mengintimidasi, menyudutkan dan memaksakan kehendak kepada narasumber demi mendapatkan jawaban tertentu.

Bagian Kedua

Persetujuan Narasumber atas Materi Siaran

Pasal 45

1. Lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan materi siaran baik dalam bentuk siaran langsung (live) maupun rekaman (recorded) yang diproduksi tanpa persetujuan dan konfirmasi narasumber, diambil dengan menggunakan kamera dan atau mikrofon tersembunyi, merupakan hasil rekaman wawancara di telepon, kecuali materi siaran yang memiliki nilai kepentingan publik yang tinggi;

2. Lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan materi siaran yang mengandung tindakan intimidasi wartawan terhadap narasumber;

3. Demi keselamatan narasumber, Lembaga penyiaran wajib menyamarkan identitas narasumber yang menyampaikan informasi penting yang mempengaruhi opini publik.

Bagian Ketiga

Anak dan Remaja sebagai Narasumber

Pasal 46

Dalam menyiarkan program yang melibatkan anak dan remaja sebagai narasumber, lembaga penyiaran harus mematuhi ketentuan berikut:

a. tidak boleh mewawancarai anak dan remaja berusia di bawah umur 18 tahun, mengenai hal-hal di luar kapasitas mereka untuk menjawabnya, misalnya tentang kematian, perceraian, perselingkuhan orangtua dan keluarga; serta kekerasan yang menimbulkan dampak traumatik;

b. harus mempertimbangkan keamanan dan masa depan anak dan remaja yang menjadi narasumber;

c. harus menyamarkan identitas anak dan remaja yang terkait permasalahan dengan polisi atau proses peradilan, terlibat kejahatan seksual atau korban kejahatan seksual.

Bagian Keempat

Hak Narasumber Menolak Berpartisipasi

Pasal 47

1. Setiap orang berhak untuk menolak berpartisipasi dalam sebuah program acara yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran.

2. Apabila ketidakhadiran seseorang itu disebut atau dibicarakan dalam acara tersebut, lembaga penyiaran harus memperhatikan hal-hal berikut:

a. Lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan pernyataan yang bersifat menafsirkan penolakan atau ketidakhadiran narasumber tersebut;

b. Lembaga penyiaran memiliki hak memberitahukan kepada khalayak secara proposional alasan ketidakhadiran narasumber yang sebelumnya telah menyatakan kesediaan akan hadir.

Bagian Kelima

Wawancara Telepon dan Rekaman Telepon

Pasal 48

Dalam menyiarkan hasil wawancara telepon baik langsung maupun rekaman, lembaga penyiaran harus mematuhi ketentuan berikut:

a. Lembaga penyiaran, sebelum melakukan wawancara, harus memperkenalkan diri, menyatakan tujuan wawancara, jenis program siaran, dan kapan hasil wawancara akan disiarkan, kepada pihak yang akan diwawancarai;

b. Lembaga penyiaran harus memberitahukan apakah acara tersebut disiarkan secara langsung (live) atau direkam (recorded), dan jika wawancara akan disiarkan sebagai rekaman apakah hasil wawancara tersebut akan disunting atau tidak;

c. Lembaga penyiaran dalam menyiarkan hasil wawancara telepon harus dengan sepengetahuan dan persetujuan dari pihak-pihak yang diwawancarai.

Bagian Keenam

Percakapan Langsung dengan Penelepon dari Luar

Pasal 49

Dalam menyiarkan secara langsung (live) percakapan dengan penelepon dari luar, lembaga penyiaran harus mematuhi ketentuan berikut:

a. Lembaga penyiaran harus sudah memperoleh identitas lengkap si penelepon, sebelum wawancara disiarkan;

b. Lembaga penyiaran, melalui pemandu acara, harus bertanggung jawab untuk mengingatkan penelepon dan atau menghentikan seketika pembicaraan, apabila saat percakapan berlangsung, penelepon menyampaikan hal-hal yang tidak layak disiarkan kepada publik.

BAB XII

PRIVASI

Bagian Pertama

Kehidupan Pribadi

Pasal 50

Dalam menyelenggarakan suatu program siaran baik itu bersifat langsung (live) atau rekaman (recorded), lembaga penyiaran wajib menghormati hak privasi, sebagai hak atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi dari subyek dan obyek berita.

Bagian Kedua

Konflik dalam Keluarga

Pasal 51

Pelaporan mengenai masalah kehidupan pribadi dan hal-hal negatif dalam keluarga, misalnya konflik antar anggota keluarga, perselingkuhan, dan perceraian, disajikan dengan mengikuti syarat-syarat berikut:

a. tidak dilakukan dengan niat merusak reputasi obyek yang diberitakan;

b. tidak dilakukan dengan cara yang justru memperburuk keadaan, atau memperuncing konflik yang ada;

c. tidak dilakukan dengan cara yang mendorong berbagai pihak yang terlibat dalam konflik mengungkapkan secara terperinci aib dan atau kerahasiaan masing-masing pihak yang berkonflik;

d. tidak dilakukan dengan menyajikan informasi tentang perilaku seks secara terperinci;

e. harus memperhatikan dampak terhadap keluarga, terutama anak-anak dan remaja, yang mungkin ditimbulkan oleh pelaporan;

f. harus berdasarkan fakta dan data;

g. pembawa acara atau narator tidak menjadikan laporan konflik keluarga sebagai bahan tertawaan dan/atau bahan cercaan;

h. pembawa acara atau narator dilarang mengambil kesimpulan secara tidak proporsional, menghakimi, dan/atau mengambil sikap berpihak kepada salah satu pihak yang berkonflik;

i. pembawa acara atau narator tidak boleh menggiring opini khalayak ke arah yang menjatuhkan martabat obyek yang diberitakan.

Bagian Ketiga

Perekaman Tersembunyi

Pasal 52

1. Perekaman tersembunyi adalah tindakan menggunakan segala jenis alat perekam (gambar ataupun suara) secara sembunyi-sembunyi untuk merekam tanpa diketahui oleh orang lain atau subyek yang direkam.

2. Dalam menyelenggarakan program siaran, lembaga penyiaran dapat menggunakan rekaman tersembunyi sepanjang mematuhi beberapa ketentuan berikut ini:

a. perekaman tersembunyi hanya diizinkan bila siaran tersebut memiliki nilai kepentingan publik yang tinggi, dan kepentingannya jelas yakni tidak untuk merugikan pihak tertentu;

b. perekaman tersembunyi hanya diperbolehkan di ruang publik;

c. perekaman tersembunyi hanya diperbolehkan jika dilakukan untuk kepentingan publik, dimana:

i. terdapat bukti atau dokumentasi atas sebuah perilaku atau niat dan/atau upaya untuk melakukan pelanggaran;

ii. wartawan dapat menunjukkan bahwa pendekatan terbuka tidak akan berhasil;

iii. rekaman tersebut digunakan untuk tujuan pembuktian;

d. dalam menyiarkan materi rekaman tersembunyi, lembaga penyiaran bertanggungjawab untuk tidak melanggar privasi orang-orang yang secara kebetulan terekam dalam materi tersebut;

e. orang yang menjadi obyek dalam rekaman mempunyai hak menolak hasil rekamannya untuk disiarkan;

f. bila pada saat perekaman, orang atau obyek tersebut mengetahuinya dan meminta perekaman dihentikan, lembaga penyiaran harus mengikuti permintaan tersebut;

g. rekaman tersembunyi tidak disajikan secara langsung (live).

Bagian Keempat

Pencegatan

Pasal 53

1. Pencegatan adalah tindakan menghadang narasumber tanpa perjanjian untuk diwawancarai dan atau diambil gambarnya. Dalam hal ini, lembaga penyiaran dapat melakukan pencegatan di ruang publik maupun ruang privat;

2. Jika lembaga penyiaran akan melakukan pencegatan di ruang privat (rumah, kantor), harus dilakukan hanya apabila telah mendapatkan persetujuan dari narasumber dan atau keluarga;

3. Narasumber berhak menolak untuk berbicara saat terjadi pencegatan oleh wartawan, dan lembaga penyiaran tidak boleh menggunakan penolakan tersebut sebagai alat untuk menjatuhkan narasumber atau obyek dari suatu program siaran;

4. Lembaga penyiaran dilarang melakukan pencegatan dengan tujuan menambahkan efek dramatis pada program faktual.

BAB XIII

PELIPUTAN TRAGEDI BENCANA DALAM PROGRAM FAKTUAL

Pasal 54

Dalam meliput dan atau menyiarkan program yang melibatkan pihak-pihak yang terkena tragedi musibah atau bencana, lembaga penyiaran harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. lembaga penyiaran yang melakukan peliputan musibah atau bencana harus mempertimbangkan dampak peliputan bagi proses pemulihan korban dan keluarganya;

b. lembaga penyiaran tidak boleh menambah penderitaan ataupun trauma orang dan/atau keluarga yang terkena musibah, bencana alam, kecelakaan, kejahatan terorisme, dan atau orang yang sedang berduka, dengan cara memaksa, menekan, mengintimidasi korban dan/atau keluarganya untuk diwawancarai dan/atau diambil gambarnya;

c. lembaga penyiaran diizinkan untuk menyajikan gambar korban dan/atau orang yang sedang dalam kondisi menderita hanya dalam konteks yang dapat mendukung tayangan;

d. lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan tayangan wawancara dengan korban kejahatan seksual mengenai proses tindak asusila tersebut secara terperinci.

e. lembaga penyiaran dilarang memparodikan bencana alam dan kesengsaraan orang.

BAB XIV

PROGRAM UNDIAN BERHADIAH DAN PENGGALANGAN DANA

Bagian Pertama

Kuis dan Undian Berhadiah

Pasal 55

1. Kuis dan undian berhadiah yang diselenggarakan lembaga penyiaran wajib mendapatkan izin lembaga yang berwenang.

2. Lembaga penyiaran tidak boleh menyelenggarakan kuis dan undian berhadiah yang dianggap dapat mengarah pada perjudian.

3. Jika kuis atau undian berhadiah menggunakan fasilitas telepon dan short message services (SMS), lembaga penyiaran harus memberitahukan dengan jelas tarif pulsa hubungan telpon atau SMS yang dikenakan.

Bagian Kedua

Program Penggalangan Dana dan Bantuan

Pasal 56

Dalam menyajikan program yang berisikan permohonan penggalangan bantuan dana kepada khalayak untuk keperluan amal, baik atas inisiatif lembaga penyiaran sendiri maupun pihak lain, lembaga penyiaran harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. kegiatan pengumpulan dana kemanusiaan atau bencana alam yang diselenggarakan lembaga penyiaran harus memperoleh izin dari lembaga yang berwenang;

b. hasil dari kegiatan penggalangan dana kemanusiaan atau bencana alam wajib diaudit oleh akuntan publik sebagai pertanggungjawaban lembaga penyiaran kepada publik dengan pemberitahuan kepada Komisi Penyiaran Indonesia agar diumumkan secara terbuka.

BAB XV

PROGRAM ASING DAN BAHASA ASING

Bagian Pertama

Program Asing

Pasal 57

Lembaga penyiaran diizinkan menyajikan program asing dengan mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. lembaga penyiaran swasta dapat menyajikan program asing, dengan syarat tidak melebihi 30% (tigapuluh per seratus) dari seluruh jam siaran;

b. lembaga penyiaran berlangganan dapat menyajikan program asing melalui saluransaluran yang ada dalam paket siaran, setelah melalui sensor internal secara mandiri.

c. Program siaran yang dibuat di dalam negeri yang menggabungkan berbagai materi siaran (klip, berita, dan lagu asing) tidak dikategorikan sebagai program asing.

Bagian Kedua

Bahasa Asing

Pasal 58

Lembaga penyiaran diizinkan menyajikan program acara berbahasa asing dengan mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. lembaga penyiaran televisi (baik televisi swasta mau pun televisi berbayar) harus menyertakan teks dalam bahasa Indonesia, dengan pengecualian program khusus berita berbahasa asing, program pelajaran bahasa asing, pembacaan kitab suci, atau lagu-lagu kebangsaan dan rohani;

b. lembaga penyiaran radio harus menyertakan terjemahan dalam bahasa Indonesia, dengan pengecualian program khusus berita berbahasa asing, program pelajaran bahasa asing, atau pembacaan kitab suci;

c. program dalam bahasa asing dapat disulihsuarakan dalam jumlah maksimal 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah mata acara berbahasa asing yang disiarkan lembaga lembaga bersangkutan;

d. dalam kaitan dengan huruf b, program yang disajikan dengan teknologi bilingual tidak dihitung sebagai program yang disulihsuarakan.

Bagian Ketiga

Bahasa Isyarat

Pasal 59

Lembaga Penyiaran televisi dapat menggunakan bahasa isyarat dalam program faktual untuk khalayak tunarungu.

BAB XVI

SIARAN PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Pasal 60

1. Siaran pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah meliputi siaran berita, sosialisasi pemilihan, dan siaran kampanye tentang Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Pusat dan Daerah, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan Kepala Daerah.

2. Lembaga penyiaran wajib menyediakan waktu yang cukup bagi peliputan pemilu dan pemilihan Kepada Daerah.

3. Lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta pemilu dan pemilihan Kepala Daerah.

4. Lembaga penyiaran dilarang bersikap partisan terhadap salah satu peserta pemilu dan pemilihan Kepada Daerah.

5. Peserta Pemilu dan Pilihan Kepala Daerah dilarang membiayai atau mensponsori program yang ditayangkan lembaga penyiaran.

BAB XVII

SENSOR DAN PENGGOLONGAN PROGRAM SIARAN TELEVISI

Bagian Pertama

Sensor

Pasal 61

1. Lembaga Penyiaran wajib menampilkan tanda lulus sensor yang dikeluarkan oleh Lembaga Sensor Film pada materi isi siaran dalam bentuk Film dan/atau iklan.

2. Lembaga penyiaran televisi secara mandiri wajib melakukan sensor internal atas materi siaran non berita yang bukan siaran langsung, antara lain sinetron, program komedia, program musik, klip video, program features/dokumenter, baik yang diproduksi sendiri maupun yang dibeli dari pihak luar atau asing.

Bagian Kedua

Penggolongan Program Siaran Televisi

Pasal 62

1. Lembaga penyiaran televisi wajib menyertakan informasi tentang penggolongan program siaran berdasarkan usia khalayak penonton di setiap acara yang disiarkan.

2. Penggolongan program diklasifikasikan dalam empat kelompok usia, yaitu:

a. Klasifikasi A: Tayangan untuk Anak, yakni khalayak berusia di bawah 12 tahun;

b. Klasifikasi R: Tayangan untuk Remaja, yakni khalayak berusia 12-18 tahun;

c. Klasifikasi D: Tayangan untuk Dewasa; dan

d. Klasifikasi SU: Tayangan untuk Semua Umur.

3. Untuk memudahkan khalayak penonton mengidentifikasi, informasi penggolongan program ini harus terlihat di layar televisi di sepanjang acara berlangsung.

4. Secara khusus atas program isi siaran yang berklasifikasi Anak dan/atau Remaja, lembaga penyiaran dapat memberi peringatan dan himbauan tambahan bahwa materi program isi siaran klasifikasi Anak dan/atau Remaja perlu mendapatkan arahan dan bimbingan orangtua.

5. Peringatan atau himbauan tambahan tersebut berbentuk kode huruf BO (Bimbingan Orangtua) ditambahkan berdampingan dengan kode huruf A untuk klasifikasi Anak, dan/atau R untuk klasifikasi Remaja. Kode huruf BO tidak berdiri sendiri sebagai sebuah klasifikasi penggolongan program isi siaran, namun harus bersama-sama dengan klasifikasi A dan R.

Pasal 63

Program siaran dengan Klasifikasi ‘A’ mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. khusus dibuat dan ditujukan untuk anak;

b. berisikan isi, materi, gaya penceritaan, tampilan yang sesuai dengan dan tidak merugikan perkembangan dan kesehatan fisik dan psikis anak;

c. tidak boleh menonjolkan kekerasan (baik perilaku verbal maupun non-verbal) serta menyajikan adegan kekerasan yang mudah ditiru anak-anak;

d. tidak boleh menyajikan adegan yang memperlihatkan perilaku atau situasi membahayakan yang mudah atau mungkin ditiru anak-anak;

e. tidak boleh mengandung muatan yang dapat mendorong anak belajar tentang perilaku yang tidak pantas, seperti: berpacaran saat anak-anak, kurang ajar pada orangtua atau guru, memaki orang lain dengan kata-kata kasar;

f. tidak mengandung muatan yang secara berlebihan mendorong anak percaya pada kekuatan paranormal, klenik, praktek spiritual magis, mistik, atau kontak dengan roh;

g. tidak mengandung adegan yang menakutkan dan mengerikan;

h. harus mengandung nilai-nilai pendidikan, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik dan penumbuhan rasa ingin tahu mengenai lingkungan sekitar;

i. jika program mengandung gambaran tentang nilai-nilai dan perilaku anti-sosial (seperti tamak, licik, berbohong), program tersebut harus juga menggambarkan sanksi atau akibat yang jelas dari perilaku tersebut;

j. tidak memuat materi yang mungkin dapat mengganggu perkembangan jiwa anak, seperti: perceraian, perselingkuhan, bunuh diri, penggunaan obat bius;

k. tidak menyajikan gaya hidup konsumtif dan hedonistik;

Pasal 64

Program siaran dengan Klasifikasi ‘R’ mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. khusus dibuat dan ditujukan untuk remaja;

b. berisikan isi, materi, gaya penceritaan, tampilan yang sesuai dengan dan tidak merugikan perkembangan dan kesehatan fisik dan psikis remaja;

c. pembahasan atau penggambaran adegan yang terkait dengan seksualitas serta pergaulan antar pria-wanita harus disajikan dalam proporsi yang wajar dalam konteks pendidikan kesehatan reproduksi yang sehat bagi remaja;

d. tidak boleh mengandung muatan yang dapat mendorong remaja belajar berperilaku yang tidak pantas, seperti: menganut seks bebas, kurang ajar pada orangtua atau guru, memaki orang lain dengan kata-kata kasar, dan menjadi anti-sosial;

e. mengandung nilai-nilai pendidikan, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik dan penumbuhan rasa ingin tahu mengenai lingkungan sekitar;

f. memberikan referensi pergaulan remaja yang positif serta dapat memotivasi remaja untuk lebih mengembangkan potensi diri;

g. tidak mendorong gaya hidup konsumtif dan hedonistik.

Pasal 65

Program siaran dengan Klasifikasi ‘D’ mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. berisikan materi yang hanya pantas disaksikan oleh orang dewasa;

b. dapat mengandung tema dominan atau membahas secara mendalam persoalanpersoalan keluarga yang dianggap sebagai masalah dewasa, seperti: intrik dalam keluarga, perselingkuhan, perceraian;

c. dapat mengandung muatan kekerasan eksplisit, namun tetap tidak boleh mengandung muatan sadistis dan di luar perikemanusiaan, serta mendorong atau menggelorakan kekerasan;

d. dapat mengandung materi yang mengerikan dan menakutkan sepanjang tetap bertujuan menghibur;

e. dapat secara proporsional menayangkan pembicaraan, pembahasan atau tema mengenai masalah seks dewasa;

f. program dan promo program tayagan ini hanya boleh disiarkan pukul 22.00–03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan.

Pasal 66

Program Klasifikasi ‘SU’ adalah program siaran yang berisikan muatan yang tidak secara khusus ditujukan untuk anak dan remaja, namun dianggap layak semua penonton, termasuk anak dan remaja, sebagaimana merujuk pada Pasal 63 dan Pasal 64.

BAB XVIII

PENGAWASAN, PENGADUAN DAN PENANGGUNGJAWAB

Bagian Pertama

Pengawasan

Pasal 67

1. KPI mengawasi pelaksanaan Standar Program Siaran.

2. Standar Program Siaran wajib dipatuhi oleh semua lembaga penyiaran.

3. Lembaga penyiaran wajib memperhatikan Standar Program Siaran dalam proses pengolahan, pembuatan, pembelian, penayangan, penyiaran dan pendanaan program siaran lembaga penyiaran bersangkutan, baik lokal mau pun asing.

Bagian Kedua

Sosialisasi

Pasal 68

Lembaga penyiaran wajib mensosialisasikan isi Standar Program Siaran kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proses pengolahan, pembuatan, pembelian, penayangan, penyiaran dan pendanaan program siaran lembaga penyiaran bersangkutan, baik lokal mau pun asing.

Bagian Ketiga

Pengaduan

Pasal 69

Setiap orang atau sekelompok orang yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap Standar Program Siaran dapat mengadukan ke KPI.

Pasal 70

KPI menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran.

Pasal 71

Dalam hal KPI memutuskan untuk mempertimbangkan keluhan dan atau pengaduan, Lembaga Penyiaran tersebut diundang untuk didengar keterangannya guna mendapatkan klarifikasi dan penjelasan lebih lanjut tentang materi program yang diadukan tersebut.

Bagian Keempat

Hak Jawab

Pasal 72

1. KPI memberikan kesempatan kepada Lembaga Penyiaran yang diduga melakukan pelanggaran atas Standar Program Siaran tersebut untuk melakukan klarifikasi berupa hak jawab, baik dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk didengar langsung keterangannya sebelum keputusan ditetapkan.

2. Berkaitan dengan ayat (1), setiap lembaga penyiaran harus menunjuk seorang ‘penangan pengaduan’ yang akan menangani setiap laporan dan pengaduan tentang kemungkinan pelanggaran.

Bagian Kelima

Materi Rekaman Siaran dan Keputusan

Pasal 73

1. Untuk kepentingan pengambilan keputusan, KPI memiliki wewenang untuk meminta kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan, untuk memperlihatkan rekaman bahan siaran yang diadukan, lengkap dengan penjelasan-penjelasan tertulis dari penanggung jawab program lembaga penyiaran tersebut.

2. Berkaitan dengan ayat (1), lembaga penyiaran wajib menyimpan materi rekaman siaran selama minimal satu tahun.

BAB XIX

SANKSI DAN PENANGGUNGJAWAB

Pasal 74

Penetapan sanksi bagi lembaga penyiaran yang terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Standar Program Siaran dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Pasal 75

1. Setiap pelanggaran yang terbukti dilakukan oleh lembaga penyiaran akan tercatat secara administratif dan akan mempengaruhi keputusan KPI berikutnya, termasuk dalam hal perpanjangan izin lembaga penyiaran yang bersangkutan.

2. Bila KPI menemukan bahwa terjadi pelanggaran oleh lembaga penyiaran, KPI akan mengumumkan pelanggaran itu kepada publik, sementara lembaga penyiaran bersangkutan wajib mengumumkan pula keputusan tersebut melalui siarannya.

Pasal 76

1. Bila terjadi dugaan pelanggaran atas Standar Program Siaran maka yang bertanggungjawab adalah lembaga penyiaran yang menyiarkan program yang mengandung dugaan pelanggaran tersebut.

2. Ketentuan ayat (1) di atas berlaku untuk seluruh jenis program: program yang diproduksi sendiri, yang dibeli dari pihak lain mau pun asing, yang merupakan kerjasama produksi, maupun yang disponsori.

BAB XX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 77

Standar Program Siaran secara berkala dinilai kembali oleh KPI sesuai dengan perubahan peraturan perundang-undangan dan perkembangan norma-norma yang berlaku, serta pandangan dari masyarakat.

Pasal 78

Pada saat Peraturan KPI ini mulai berlaku, maka Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/5/2006 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 79

Peraturan KPI ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.